Amanah Dalam Memimpin

AMANAH, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik, ini adalah kriteria seorang pemimpin seperti yang dikatakan Rasulullah SAW. Karena itu tidak sembarang orang bisa duduk sebagai pemimpin atau ditunjuk sebagai pemimpin, karena ditakutkan dia tidak sanggup memikul beban berat itu, tidak sanggup amanah.

Menjadi pemimpin bukan gampang karena resikonya sampai ke hari hari akhir. Seperti sabda Rasulullah: “jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya .”(HR Muslim).

Seperti kisah sahabat nabi yang bernama Abu Dzar al-Ghifari. Suatu wakti dia bertanya kepada Nabi: “Ya Rasulullah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?” Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab: “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah.”

Artinya, pejabat dalam gambaran Nabi SAW adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekadar penguasa.

Dan pekerja seperti digambarkan oleh Alquran haruslah orang yang kuat dan terpercaya: “Sesunguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,” (QS al-Qashas (28) :26).

Kuat maksudnya adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah (dapat dipercaya) adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaan.

Seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatannya dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Alquran memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz), dan berpengetahuan (alim).

Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafiz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas jabatan dan kepemimpinannya.***/SS

x

Check Also

Kepemimpinan Itu Bukan Jalan Hidup Lelaki Biasa

Dalam alam demokrasi di Indonesia saat ini kepemimpinan erat kaitannya dengan politikus. karena jalur cepat ...