BANYAK kita melihat manusia yang bekerja keras, berjuang siang dan malam hanya demi kesuksesan duniawi semata. Mungkin mereka berpandangan, limpahan kekayaan dan jabatan merupakan kemuliaan hidup dan sumber martabat. Sementara kemiskinan dianggap sebagai kehinaan. Padahal dimata Allah, bukan kekayaan atau kemiskinan pertanda mulia dan hinanya seorang hamba-Nya.
Allah Ta’ala telah berfirman: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas, bahwa dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyatakan orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Allah Ta’ala juga berfirman: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Para ulama mengatakan bahwa melalui ayat di atas, Allah Azza wa Jalla mengabarkan salah satu sifat orang kafir dan musyrik saat menerima limpahan harta dan tatkala kekurangan materi dan terhimpit kesulitan ekonomi. Sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa itu merupakan sifat bawaan setiap manusia yang bersumber dari sifat jahl (kebodohan, ketidaktahuan tentang hakekat masalah) dan zhulm (kezhaliman).
Faktanya, tidak demikian adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allah dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat.
Sementara ketika Allah SWT menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima. Padahal ini merupakan sifat yang tak terpuji. Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir, adalah bahwa kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang.
Allah SWT tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi Nya. Semua hanya merupakan ujian dan cobaan yang diberikan kepada umat manusia.
Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(QS Saba, 34:36).
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti pandangan yang kedua. (Sebab) Allah SWT memberikan kekayaan kepada orang yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Landasan dalam masalah ini ialah ketaatan kepada Allah.
Kemudian Syaikh Abdur Rahman menjelaskan, kekayaan dan kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allah danuntuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allah akan membalasnya dengan pahala yang besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka akan dibalas dengan siksa pedih.
Sesuai firman Allah SWT: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.(al-Anbiya ayat 21:35).
Karena itu perlu instropeksi diri. Ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa kekayaan, syukurilah dan itu murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allah, bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada orang yang berhak. Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki seret, seorang Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, seraya berintrospeksi diri, kejadian ini tiada lain karena dosa-dosaku. Allah SWT tidak sedang menghinaku dan tidak sedang menganiaya diriku.***/