PERJALANAN hidup Malcolm X tidak mulus. Pejuang anti diskriminasi dan persamaan hak ini adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.
Hidupnya sempat diwarnai rekam jejak negatif. Terlahir sebagai seorang kulit hitam adalah sebuah masalah di zamannya, karena masyarakat Amerika masih memarjinalkan orang-orang kulit hitam. Malcolm memulai masa mudanya yang keras dan berusaha menunjukkan eksistensinya di kehidupan, walaupun terkadang itu membawa masalah bagi dirinya sendiri. Ia pernah dikeluarkan oleh sekolahnya dan masuk bui di tahun 1946 karena kasus kriminal yang ia lakukan.
Selama 8 tahun mendekam di jeruji besi, Malcolm mulai terpengaruh dengan pemikiran “Negara Islam” yang dibawa oleh salah satu kelompok yang menyimpang yang didirikan pada tahun 1900-an. Kelompok ini mengkampanyekan supremasi orang-orang kulit hitam dan ras kulit putih adalah kelompok setan. Tentu saja latar belakang berdirinya kelompok ini adalah penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam. Setelah bebas dari penjara, Malcolm bertemu dengan “Nabi” gerakan NOI (Nation of Islam), Elijah Muhammad, Malcolm pun diangkat sebagai mentri dalam NOI.
Pada tahun 1950-an, Malcolm menduduki jabatan tertinggi dalam kelompok ini. Hal itu dikarenakan kecerdasannya dan retorikanya yang baik. Di era kebebasan Amerika kala itu, Malcolm menjadi seorang pejuang hak asasi yang terkemuka. Ia mengadvokasi hak-hak warga Amerika keturunan Afrika agar menjadi setara dengan orang-orang kulit putih. Perjuangan Malcolm ini sama halnya dengan Martin Luther King yang berusaha menjadikan hak warga kulit hitam setara dengan kulit putih, hanya saja, perjuangan Malcolm cenderung lebih keras dan radikal.
Tahun 1950-an terjadi transformasi lagi pada ideologi Malcolm, ia mulai melihat celah dan kekeliruan gerakan Nation of Islam. Ia pun meninggalkan gerakan ini dan mulai mengkaji Islam, mencari nilai-nilai murni dari ajaran Islam yang penuh kedamaian. Pada tahun 1964, setelah menunaikan ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan.
Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”
Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.
Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).
Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam. Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu.
Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali.***/zie/int