MAULID Nabi Muhammad SAW atau hari kelahiran Rasulullah oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Di beberapa daerah, Maulid Nabi diperingati dengan sejumlah agenda.
Kata maulid diambil dari bahasa Arab, Milad, dengan arti: hari lahir. Peringatan hari kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW ternyata bukanlah tradisi yang ada ketika Rasulullah SAW hidup.
Perayaan ini menjadi tradisi dan berkembang luas dalam masyarakat dan kehidupan umat Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, jauh sesudah Nabi Muhammad SAW wafat.
Selama nabi hidup ternyata tidak ada namanya tradisi maulid nabi, bahkan pada zaman sahabat sekalipun. Lalu bagaimana asal usul adanya tradisi maulid nabi besar Muhammad SAW?
Peringatan itu kali pertama dilakukan Raja Irbil yang saat ini berada di wilayah Irak, yakni Muzhaffaruddin al kaukabri pada sekitar abad ke-7 hijriah. Perayaan itu dilakukan pada bulan Rabi’ul Awal dan dirayakan secara besar-besaran. Tradisi ini kemudian berkembang pesat dan luas di seluruh dunia hingga Indonesia.
Karena itu, jika tidak mengerti arti, makna dan hikmah maulid besar nabi Muhammad SAW justru menimbulkan “hura-hura” seremonial saja tanpa ada makna yang substantif. Harusnya Maulid Nabi bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial belaka, tapi sebuah momen spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup umat Islam.
Maulid adalah perenungan dan pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara kongkrit tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah ini. Artinya, selain sebagai ekspresi rasa syukur atas kelahiran Rasulullah SAW, substansi dari peringatan Maulid Nabi adalah mengukuhkan komitmen loyalistas pada beliau.
Selain itu, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sesuai firmanNya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Maulid juga akan meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Bagi seorang mukmin, kecintaan terhadap Rasulullah SAW adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan. Kecintaan pada utusan Allah ini harus berada di atas segalanya, melebihi kecintaan pada anak dan isteri, kecintaan terhadap harta, kedudukannya, bahkan kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya.” (HR. Bukhari).
Maulid juga akan mengingatkan umat Islam untuk selalu meneladani perilaku dan perbuatan mulia Rasulullah SAW. dalam setiap gerak kehidupan kita. Allah SWT. bersabda : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).**/SS