Allah Ta’alah berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Mahateliti”. (QS al-Hujurat: 13).
Maknanya adalah bahwa mereka yang mulia di mata Allah SWT adalah mereka yang bertaqwa. Taqwa dalam artian beriman dan melanksanakan segala perintah, menjauhi segala larangan. Ukuran kemuliaan adalah ukuran keimanan bukan keduniawian.
Tetapi ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain. Bahwa orang hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana, orang sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Orang besar adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan.
Bukan menjadi hal aneh ketika kemudian kehidupan manusia dipenuhi keserakahan akan harta benda dan jabatan, lalu korupsi meeajalela. Karena mereka yang melakukannya telah terkecoh akan arti kemuliaan. Mereka tergerus zaman yang menomor satukan hedonisme, hidup keduniaan dan melupakan makna hakiki keberadaan manusia sebagai hamba Allah dimuka bumi.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mencari keridhaan Allah meskipun ia memperoleh kebencian dari manusia, maka Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkanya kepada manusia.” (HR Tirmidzi).
Manusia yang mengejar ketenaran duniawi lupa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah, Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya. Tetapi manusia selalu alpa, selalu lupa, selalu saja riya.
Yang menyedihkan, riya ternyata tidak hanya menyerang kalangan awam saja, tetapi juga mereka yang faham akan bahaya riya itu sendiri. Mereka yang ahli ibadah, para da’i dan mubaligh, thalibul ilmi, serta para penghafal al-quran justru lebih berpotensi besar terjangkiti riya ini. Kuantitas amal shalih yang mereka kerjakan, ternyata membuat setan tergiur untuk mengggelincirkan kelompok ini, agar keikhlasan mereka pudar, dan ganti beramal untuk manusia, pujian, serta kedudukan.
Padahal jauh-jauh hari Rasulullah SAW sudah memperingatkan umatnya tentang betapa bahayanya riya atau syirik kecil ini, seperti sabda beliau: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Riya’, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat semua manusia diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihatkan amalmu kepada mereka di dunia, lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan disisi mereka?” (HR Ahmad).
Lalu apa solusinya agar kita tidak terjangkit hal ini? Tentu saja dengan berusaha untuk ikhlas di setiap amal yang dikerjakan dan selalu berupaya protektif menjaganya. Karena setan tak akan pernah menyerah untuk memberikan bisikan-bisikannya demi menggoyahkan dan merusak keikhlasan seseorang. Agar manusia menjadi budak sesamanya, beramal untuk kepuasan semu, serta mencampuradukkan tujuan hakiki amal shalih dengan tujuan bathil.
Rasulullah pernah mengajarkan sebuah doa yang dapat kita jadikan perisai dari perbuatan syirik kecil (Riya) ini, sesuai sabda beliau: “Takutlah kalian terhadap syirik karena dia lebih halus dari langkah semut.” Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami harus menghindarinya, sementara dia lebih halus dari langkah semut?” Maka beliau menjawab: “Berdo’alah dengan membaca: “Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang tidak kami ketahui).” (HR Ahmad).***/SS